26 September 2010

Bicara tak Sopan, Sertifikat Sertifikasi Dicabut


Sertifikasi guru bukanlah hak, namun itu merupakan kewajiban yang harus dipertangungjawabkan oleh guru yang memperoleh sertifikasi tersebut. Karena salah mengartikan ini, salah seorang orang guru di kota Padang dicabut sertifikat sertifikasinya.

Hal ini disampaikan kepala Dinas Pendidikan Bambang Sutrisno. Menurutnya guru yang di cabut sertifikasinya ini lantaran etika atau pribadi guru ini telah cacat. Padahal, etika dan kepribadian ini adalah salah satu kompetensi yang dinilai dari guru untuk mendapatkan sertifikasi.

“Kita mencabut sertifikasi salah seorang guru yang ada di kota Padang lantaran guru ini telah berkata tidak sopan kepada pegawai Dinas Pendidikan saat mengurus soal sertifikasinya di Dinas Pendidikan. Tidak hanya pada pegawai. Bahkan, kata-kata tidak sopan tersebut dilontarkannya pada saya sebagai kepala dinas pendidikan,”beber Bambang.

Tidak hanya sertifikasinya yang dicabut, kata bambang, namun hak mengajar pun juga dicabut. Hari ini Rabu (22/9/2010) SK pencabutan itu akan keluar dan guru yang biasa mengajar di SMU 10 Padang ini akan dipindahkan dinas di kantor Dinas Pendidikan.

Disebutkan, pada umumnya guru yang mendapatakn sertifikasi salah artikan sertifikasi ini. Mereka menganggap sertifikasi yang diperoleh adalah hak mereka. Namun, sebenarnya sertifikasi adalah kewajiban mereka. Setelah mendapatkan sertifikasi ini seharusnya kompetensi mereka sebagai seorang guru semakin bagus.

Sejauh ini Bambang mengatakan, sertifikasi yang telah dikantongi oleh 3900 dari 10.000 guru yang ada di kota Padang hanya membuat guru lebih memikirkan materi.

“Mulai dari bersaing untuk memperebutkan sertifikasi ini, sampai pada pengambilan uang nanti. Yang mereka urus ke sini itu hanya uang. Padahal, tanpa mereka ke Dinas Pendidikan pun uang ini tetap akan dikirim ke rekening mereka,” ujar Bambang.

Dikatakan, sertifikasi ini bisa dikatakan hak manakala mereka telah menujukkan kewajiban mereka setelah mengantongi sertifikasi dengan cara menunjukkan kinerja dan keberhasilan mereka sebagai guru.

Terakhir ditegaskannya, agar para guru betul-betul menjaga kompetensi mereka seperti kompetensi dalam pemberian materi, Kompetensi Sosial, Kompetensi Pribadi dan kompetensi etika. Karena jika salah satu saja kompetensi yang menjadi penilaian saat mendapatkan sertifikasi ini cacat. Maka sertifikasi akan bisa dicabut kembali.

Untuk pencabutan sertifikasi ini kepala Dinas Pendidikan diberikan hak. Tentunya pencabutan ini sesuai dengan payung hukum yang berlaku.

Pola Asuh Yang Kaku Menciptakan Pribadi Yang Kacau Balau


Banyak orang merasa hidup kurang beruntung. Mereka merasakan dunia ini tidak indah- terasa suram, sempit dan kurang berpihak kepada mereka. Hal ini terjadi gara-gara mereka dibesarkan di rumah- di lingkungan- dengan orang tua (keluarga) yang mengasuh anak tanpa memberikan rasa aman dan rasa tenang. Suasana ramah tamah dan komunikasi yang penuh dengan kelembutan menjadi sesuatu yang mahal untuk diperoleh.

Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua (juga pengganti orang tua) yang bersifat kaku- banyak menonjolkan unsur kekerasan dan amarah- sangat berpotensi menjadikan anak sebagai manusia yang pribadi kacau balau. Karakter mereka juga bisa jadi kasar, emosional, beringas, mahal senyum- hingga juga cenderung menjadi skizoprenia (pribadi yang terbelah) atau juga disebut dengan gila.

Perubahan pola asuh yang dilalui seseorang dalam hidupnya, terutama selama masa anak-anak dan remaja- yang begitu kontra sangat berpotensi melahirkan mentality-shocked (kejutan mental) pada diri seseorang. Hendro mengalami mentality shocked saat masih berusia muda. Itu gara-gara perobahan pola asuh. Betapa sebelumnya ia merasa bahagia karena dibesarkan oleh ibunya sendiri yang penyabar dan lembut. Ibunya sendiri punya karakter sangat pencemas dan berprasangka bahwa lingkungan bisa menjadi sumber kerusakan moral bagi anaknya.

Sang ibu khawatir kalau Hendro menjadi anak nakal/ bandel. Maka mulailah ia memberikan sejumlah larangan. “Tidak boleh menonton film sembarangan dan acara TV yang dipandang jorok, tidak boleh bergaul dengan anak tetangga, tidak boleh pulang terlambat, tidak boleh berbohong”. Jadinya aktivitas Hendro hanya terfokus di dalam rumah semata.

Suatu ketika musibah datang. Ibu tercintanya terkena serangan jantung dan meninggal. Untuk selanjutnya, Hendro pindah ke dalam asuhan Bude (kakak mama), seorang janda dengan enam orang anak. Ia berkarakter tegas. Apakah si kecil Hendro bisa beradaptasi dengan pola asuh bude yang sangat kontra dengan ibunya sendiri ?

Selama tinggal bersama Bude, Hendra hampir tidak pernah memperoleh senyuman, kelembutan kata-kata dan juga kesempatan bertutur kata- berbagi cerita dengan siapa saja dalam rumah. Barangkali karena beban hidup yang pelik dan anak-anak yang banyak membuat Budenya juga sulit untuk tersenyum dan beramah tamah. Lengkap sudah Bude menjadi figur ibu pengganti yang kaku dan dingin.

Gaya komunikasi (gaya bahasa) Bude dengan Hendro cukup kaku, hanya sebatas memberi perintah dan larangan. “Selama tinggal di rumah ini, tugas kamu adalah ini…, ini… dan ini…,(membersihkan kamar mandi, menjaga air bak mandi tetap penuh dan juga menjaga pekarangan rumah bebas sampah sepanjang hari), kemudian kamu dilarang melakukan ini ….dan itu…” Usai melaksanakan tugas yang diberikan Bude, maka Hendro mengurung diri dalam kamar. Ia tidak berani untuk banyak ngobrol dengan Bude yang mudah galak (pemarah). Sementara itu ia kurang punya pengalaman dalam pergaulan.

Hari-hari terasa panjang. Hendro menyibukan diri dengan membaca dan dengan fikirannya sendiri. Di sekolah, ia juga tidak punya teman akrab. Ia malah cenderung menyendiri, ini disebabkan karena kurang mengenal seni bergaul yang baik.

Hendro hanya mampu bertahan hidup bersama budenya dengan fikiran normal selama tiga tahun. Tahun keempat ia terlihat depresi. Ia tidak mampu lagi menatap wajah orang, kalau dilihat maka ia mengalihkan pandangannya atau berjalan merunduk. Selanjutnya ia menjadi acuh terhadap penampilannya, rambut awut-awutan, muka jerawatan dan gigi tidak terurus. Barangkali itulah awal gejala skizoprenia- alias pribadi yang terbelah.

Kemudian ada figur yang bernama Garin. Ia lebih beruntung karena tinggal bersama kakak-adik dan ke-dua orang tuanya. Ia dibesarkan oleh orang tua sendiri, namun mengapa ia bisa jadi depressi ?

Sejak kecil hingga akhir masa remaja, Garin terlihat normal seperti halnya anak-anak lain. Ia bisa bergaul secara normal di sekolah dan di rumah. Ia mengikuti kegiatan sepak bola dan ikut bergabung dengan klub sepak bola. Namun dalam hal berkomunikasi, Garin cuma bertutur kata/ berbagi cerita dengan teman-teman sebaya. Di rumah sendiri ia memilih banyak diam. Itu karena kakak dan kedua orang tuanya tidak mengembangkan pola kebersamaan. Di rumah jarang terjadi canda dan tawa. Yang ada malah suasana marah dan bahasa yang bernada memerintah dan melarang. Kakak-kakak cuek dan ibu bapa berkarakter masa bodoh. Pola komunikasi di rumah memang terasa kaku dan dingin.

Garin tidak memiliki cita-cita di masa depan. Tamat dari SMA ia mengalami kebingungan dan tidak tahu dengan siapa harus berbagi rasa- curhat. “Dengan kakak, takut diejek dan dengan orang tua juga tidak ada respon”. Mereka juga tidak mengerti dengan hakekat masa depan. Jadilah Garin beranjak dewasa tanpa cita-cita, selanjutnya ia membenamkan diri dalam kamar. Masa depannya suram, diri terasa tidak berguna dan emosinya mudah meledak. Garin mengalami putus asa, stressed dan depresi dan butuh pil penenang setiap saat. .

Zamri dan Eriko, dua orang anak muda yang tumbuh dengan kondisi mental porak pranda sebelum dijemput oleh kematian dalam usia sangat muda. Derita kemiskinan yang dialami oleh orang tua mendorong Zamri untuk memilih sekolah SMK sebagai jalan pintas, dengan harapan pendidikan bisa cepat selesai dan cepat pula dalam memperoleh pekerjaan. Itu berarti cepat pula ia untuk bisa berbakti kepada orang tua.

Zamri menjadi anak yang sangat diharapkan orang tua agar bisa mengubah hidup. Ternyata Zamri yang miskin dengan pengalaman hidup dan pengetahuan yang tidak memadai merasa terbebani oleh harapan orang tua yang sangat berlebihan. Zamri hanya mampu bermimpi dan berandai-andai. Sekali lagi bahwa ia sendiri tidak punya banyak pengalaman hidup- life skill- untuk mewarnai kehidupan ini. Zamri merasa bahwa sekolah hanya bisa memberi mimpi dengan segudang teori dan bukan solusi.

Tamat dari SMK, Zamri mencoba untuk mengadu untung di metropolitan. Dengan modal nekad dan selembar ijazah, ia berangkat menuju ibu kota. Ia terdampar dan tidak tahu untuk berbuat apa maka ia dipulangkan oleh Dinas Sosial ke kampung halaman. Merasa hidup gagal dan juga kepribadian yang lemah membuat zamri jadi depresi, kesehatan yang memburuk terus membuatnya menutup mata di usia muda.

Hal yang sama juga dialami oleh Eriko. Ia anak yang tumbuh ibarat rumput liar- tumbuh sendiri dan tidak banyak memperoleh sentuhan lembut orang tua dan sanak saudara. Peran orang tua hanya sebagai pemberi makan, minuman dan pakaian. Tidak begitu peduli tentang urusan pendidikan. Bila ia melakukan kesalah sebagai seorang anak kecil- berkata jorok dan mencuri hal hal kecil milik saudaranya, maka Eriko segera memperoleh corporal punishment- hukuman fisik- seperti tendangan, pukulan dan cambukan.

Bisa jadi ayahnya salah memahami pribahasa yang berbunyi ”saya dengan kampung ditinggalkan dan sayang dengan anak dilecuti”. Atau orang tuanya pernah berteori bahwa supaya karakter anak tidak menjadi-jadi maka ia perlu disakiti. Cara mendidik/ pola pengasuhan yang demikian membuat Eriko merasa “tidak ada rasa aman dan rasa damai di rumah lagi”.

Pola asuh yang keras dan kasar terjadi karena gaya kepemimpinan orang tua yang otoriter, berpotensi membuat anak berkarakter keras dan jahat, Eriko agaknya juga berkarakter agresif terhadap teman-teman. Pada akhir masa remaja, ia merasa kesepian. Teman-teman sebaya sudah pergi merantau atau mencari jodoh dan pekerjaan. Ia kurang mampu beradaptasi dan bergaul dengan banyak orang. Dalam keluarga ia merasa ditolak dan dengan teman teman juga merasa tidak diterima. Ia merasakan dunia begitu kelabu, sempit dan tidak bersahabat. Ia banyak mengurung diri dan sibuk membenamkan diri dalam illusi, jadi depresi dan berakhir dengan kematian juga di usia dua puluhan.

Pola asuh yang kaku berpotensi membuat seseorang berkarakter kaku pula. Pola asuh ini membuat seseorang menjadi miskin dengan pengalaman emosional dan bersosial sehingga susah untuk mengekspresikan perasaan. Gejala ini dialami oleh Miss.Eti dan Bernard.

Miss Eti terlahir sebagai putri- anak kedua- dari tujuh orang bersaudara. Kematian sang ayah membuat ibu menjadi janda, tanpa keterampilan hidup yang memadai. Maka anak-anak terpencar-pencar berpindah ke dalam pengasuhan orang lain. Miss Eti jatuh ke dalam pengasuhan sebuah keluarga tanpa nak dan kurang memiliki pengalaman tentang membesarkan anak.

Agar Miss Eti tidak menjadi gadis yang berandal menurut versi fikiran ibu asuh, maka ia memberikan sejumlah aturan dan sejumlah larangan. “Dilarang bergaul dengan anak-anak tetangga yang diperkirakan nakal, dilarang mengenal laki-laki, dilarang pulang terlambat, dilarang bersenang-senang agar tidak jadi pemalas”. Maka Miss Eti diperlakukan mirip sebagai pembantu oleh ibu asuhnya.

Miss Eti memang bisa beradaptasi dan ia tumbuh menjadi gadis yang patuh dan tidak suka protes. Hidupnya terlihat sunyi, mungkin ia tidak mengenal betapa indahnya jatuh cinta. Over protektif dan banyak larangan membuat Miss Eti susah untuk bisa tersenyum apalagi untuk beramah tamah. Ia sempat menikah, namun karena tidak belajar mengenal pria membuatnya ketakutan dalam perkawinan. Untung sang suami bisa menerimanya sebagai istri apa adanya- kehilangan percaya diri. Ia sendiri sering menjadi bad mood dan berucap “Apakah aku masih cantik ?”

Kesulitan hidup dan perceraian dengan suaminya membuat Ibunya Bernard menyerahkan pola pengasuhan Bernard kepada pamannya. Namun Bernard dalam pengasuhan tidak memperoleh banyak sentuhan emosi- ungkapan kasih sayang. Ia hanya diberi tugas memelihara ternak, bila ada kesalahan “ya dibentak dan dimarahi”. Ia melalui hari-hari yang juga tidak indah, namun mampu beradaptasi dengan kehidupan yang keras ini melebihi dua puluh tahun. Hingga akhir usianya sudah di atas kepala tiga (usia 35 tahun). Pihak keluarga segera memintanya untuk mengakhiri masa lajang, namun ia berkata “Bagaimana aku bisa menikah karena aku tidak bisa mencintai wanita dan mengatakan I Love You”.

Di saat persoalan hidup makin sulit dan makin rumit. Tekanan hidup dari luar makin bertambah, maka apakah masih layak bagi kita yang hidup di zaman moderen ini mengadopsi pola pengasuhan yang kaku terhadap orang-orang dan anak-anak yang berada dalam pengasuhan kita. Sangat bijak bagi kita menyingkirkan karakter kaku tersebut. Yang tepat untuk kita terapkan adalah memberikan suasana aman, damai dan penuh kasih sayang. Kita perlu menjauhan orang yang berada dalam pengasuhan dari kata-kata kasar. Karena manusia itu unik, setiap orang tentu punya karakter tersendiri. Kita perlu beradaptasi dengan semua karakter yang berada dalam pengasuhan kita. Bila kita ingin merubah karakter mereka, mari pakai cara-cara yang sejuk tanpa pemaksaan dan yang persuasive. Tokoh-tokoh di atas nyata, namun nama dan settingnya sudah dimodifikasi.

Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

15 September 2010

Sarjana Rendah Hati Lebih Laris


Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Dunia usaha selalu membutuhkan orang-orang yang cerdas. Orang-orang cerdas bisa jadi berasal dari keluarga cerdas dan sekolah yang hebat. Seseorang mungkin berfikir bahwa sekolah yang hebat mampu menghasilkan siswa yang hebat atau cerdas karena sekolah tersebut memiliki standard disiplin yang tinggi, guru yang tegas, berwibawa dan mahal senyum, sementara fokus aktivitas siswanya adalah selalu belajar dan berlatih. Namun dalam kenyataan bahwa kondisi pembelajaran di sekolah yang hebat, bukanlah demikian (?).

Pengalaman saat mengunjungi sekolah- sekolah berkualitas- sekolah unggulan, dengan uang sekolahnya sangat mahal- dijumpai kondisi sekolahnya yang begitu harmonis dan damai, hubungan antara guru-siswa yang rileks, berinteraksi melalui bahasa yang lembut dan santun. Sementara staff dan kepala sekolah tidak pernah memperlihatkan karakter yang berlebihan- dingin dan arrogant. Sebaliknya ada sekolah yang dipromosikan sebagai sekolah- lembaga pendidikan yang berkualitas- menerapkan disiplin yang hebat- ketat dan kaku- dalam kenyataan populasi siswanya merosot terus.

Pemilihan ketua osis (organisasi intra sekolah) yang dicampuri oleh kekuasaan sekolah biasanya akan memilih ketua osis yang yang cerdas namun dipandang berkarakter arrogant dan suka mengatur oleh sebahagian anggotanya. Demilkian pula dalam pemilihan Kepala Desa, Wali Nagari, Bupati/ Wali Kota dan pemilihan Gubernur yang dipengaruhi oleh kekuatan dari atas biasanya juga akan memilih tokoh yang hebat dalam berpidato, namun berkarakter otoriter, arrogant dan suka mengatur. Sebaliknya pemilihan tokoh (ketua osis, Kepala Desa, Wali Nagari, Bupati/ Wali Kota dan Gubernur) yang dipilih oleh anggota/ rakyat, mereka akan memilih tokoh/ figure yang cerdas atau hebat namun rendah hati.

“Pilihlah orang yang cerdas dan rendah hati..!” Fenomena ini juga terjadi dalam dunia usaha/ dunia kerja: perusahaan swasta, dan BUMN. Ada salah seorang sarjana lulusan Universitas di daerah bisa memperoleh posisi pekerjaan di perusahaan yang bergengsi di ibu kota (Jakarta). “Mengapa anda bisa memperoleh pekerjaan dengan posisi yang bagus di metro politan dan mampu bersaing dengan lulusan dari perguruan hebat seperti UI, ITB, IPB, UNPAD, Gajah Mada, dan lain-lain ?” Dia menjawabnya bahwa keunggulannya yang dinyatakan selama wawancara- ia dinyatakan sebagai sarjana berkualitas yang rendah hati. Kalau ini menjadi fenomena maka sarjana cerdas namun berkarakter angkuh, arrogant, otoriter dan egoist akan tidak laku dalam dunia kerja. Namun apakah banyak mahasiswa dan para sarjana yang tahu dengan fenomena ini ? Bisa jadi “ya” dan bisa jadi “tidak”.

Sampai detik ini, cukup banyak orang tua yang memasung anak di rumah atas nama pendidikan atau kasih sayang. Mereka hanya memaksa dan memotivasi anak sekedar belajar dan mengikuti berbagai macam kursus mata pelajaran. Namun mereka tidak diberi pengalaman tentang kecakapan hidup- mengikuti kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan di luar rumah lainnya, karena dianggap sebagai buang-buang waktu dan mengganggu pelajaran. Pada akhirnya anak memang tumbuh jadi cerdas secara akademik namun mereka kurang memilki kepekaan sosial- cuek, acuh dan masa bodoh terhadap sesama.

Begitu pula dengan kodisi pembelajaran di banyak sekolah. Para guru mungkin sekedar mengejar pencapaian kurikulum. Menghardik, membentak dan mengancam agar siswa bisa tertib dan mengikuti disiplin. Ini merupakan suasana belajar dengan guru-guru yang bergaya otoriter. Dalam kenyataan bahwa gaya belajar yang memaksa, menggertak, mendikte, mengejek bisa berpotensi dalam mematikan motivasi dan semangat belajar anak didik.

Namun, saat sarjana cerdas yang rendah hati, menjadi fenomena di dunia. Orang cerdas yang rendah hati lebih disukai dari pada mereka yang cerdas namun sombong, arrogant, dan tinggi hati. Maka kini masyarakat- guru dan orang tua perlu untuk meresponnya dalam praktek edukasi di rumah dan di sekolah.

Program belajar yang diyakini bisa membuat anak bisa jadi cerdas namun rendah hati selalu diminati. Learning center yang bisa membantu anak jadi cerdas dan rendah hati juga menjadi ngetrend, walau biaya belajarnya mahal- selalu diserbu.

Ada learning center sebagai tempat belajar dan bermain, yang merancang program belajar dan bermain agar anak tumbuh cerdas dan peka terhadap sosial (www.playhousedisney-asia.com) menawarkan aktivitas seperti :let your preschooler get a headstart through fun learning in the world filled with discovery and imagination on play house, designed for kids- fun learning in a world. Tentu saja aktivitas ini berada di tempat belajar yang menyenangkan- membuat anak cerdas namun rendah hati- adalah dengan menyediakan sarana belajar dan bermain dalam kelompok teman sebaya. Di sana mereka ditemani oleh guru yang berkarakter penyayang- menyayangi dan membimbing anak-anak untuk melakukan discovery (penemuan).

Sarana belajar yang berorientasi discovery tidak perlu serba mahal. Sarana belajarnya bisa jadi berupa tanah, pasir, kerikil, rumput, serangga, hewan kecil, balok-balok, cangkul kecil, bangku kecil, pisau tumpul, dan lain-lain yang bisa digenggam oleh tangan kecil dan mengoperasikannya. Yang penting di sana tidak ada suasana menakutkan- gertakan, kemarahan guru/ orang tua, penekanan dan permusuhan. Namun yang ada musti suasana pencarian, kebersamaan, semangat eksplorasi yang diperkaya dengan pujian dan pompa semangat.

Mushola dan surau juga bisa menjadi learning center di daerah perumahaan- untuk menciptakan anak-anak yang cerdas dan rendah hati. Kegiatan didikan subuh, dimana ada anak yang bertanggung jawab sebagai protokol, pembaca do’a, pembaca ayat/ bacaan sholat, juz amma, zikir dan kultum (kuliah tujuh menit) yang mengkondisikan mereka tampil di depan sesamanya. Ini cukup ampuh untuk membuat mereka tumbuh dengan rasa percaya diri yang tinggi. Selanjutnya bahwa musholla dan surau juga bisa efektif sebagai learning centre untuk daerah perumahan apabila di sana juga ada kegiatan reading society, kesenian dan olah raga.

Kini apalagi ? Ya, orang tua yang berkarakter cerewet, pemarah, dan suka menekan dalam mendidik sudah tidak zamannya lagi. Juga sudah tidak zamannya lagi bagi guru yang cuma mendidik sekedar membayar tugas. Lebih peduli terhadap kerapian dan kelengkapan administrasi/ RPP namun tidak berkarakter kreatif dan inovatif sebagai seorang guru. Apalagi bila mereka miskin dengan pengalaman paedagogi, wawasan dan informasi, serta lfe skill.

How to do and what to do ? Sri wahyudi, salah seorang murid penulis ketika belajar di SMA, adalah cuma seorang anak pedagang es keliling yang selalu meningkatkan kualitas percaya diri. Ia ikut tampil dan ikut berbicara di depan teman-teman. Kesempatan seperti itu bisa meningkatkan rasa percaya diri. Di rumah ia juga ikut meringankan kerja orang tua. Ia juga ikut bergaul dan berinteraksi dengan anak-anak tetangga- berendam air, main lumpur, mencari serangga, mengembara di sawah, namun juga serius dalam belajar dan membaca. Ia mencoba untuk berdialog dengan banyak orang dan mengunjungi banyak tempat. Setelah tamat kuliah, maka ia menjadi sarjana yang rendah, mengikuti kompetisi bursa kerja dan segera mrmperoleh posisi kerja yang cukup punya gengsi.

Dari pengalaman hidup kita ketahui bahwa orang-orang cerdas yang rendah hati bukanlah orang yang memperoleh pendidikan secara karbitan. Namun mereka adalah orang yang tumbuh dari tempaan pengalaman hidup yang kaya variasinya. Mereka ikut bersosial, beribadah, meringankan beban hidup orang tua, peduli dengan aktivitas tetangga dan tidak gengsi gengsian dalam bekerja. Sarjana- orang cerdas- yang rendah hati adalah orang yang pas dengan karakter bangsa ini.

Ditulis dalam Artikel Pendidikan

12 September 2010

Setiap Guru Siap Menghadapi Perubahan Pola Pembelajaran Dengan Sistem E-Learning


Anak-anak kita, khususnya siswa SMK telah menjadikan internet sebagai bagian dari kehidupan kesehariannya. Pada SAP kurikulum 2004, terdapat mata diklat pengenalan internet yang mungkin saja dianggap sebagai hal yang baru. Namun justru dengan demikian, anak-anak kita akan lebih banyak belajar dari beberapa situs yang ada di dalamnya.

Misalnya saja ketika anak-anak kita tidak memahami bagaimana cara kerja mesin 2 tak yang diajarkan oleh gurunya, dia akan segera mencari informasi di dalam internet. Asalkan ada kemauan, hanya dengan mengetikan “mesin 2 tak” pada mesin pencari, maka sederetan judul artikel yang berkaitan dengan mesin tersebut akan dipampangkan. Maka dengan demikian, pengasaan informasi anak-anak kita akan lebih mendalam.

Lalu bagaimana dengan gurunya sendiri? bagaimana penguasaan teknologi informasinya? Dan bagaimana para guru menghadapi opini bahwa 90 % guru gagap teknologi ? Benarkah demikian ?

Kesemuanya mungkin menjadi PR kita bersama untuk menanggapi secara serius arti dari 90 % guru-guru adalah gagap teknologi. Karena jika benar demikian, alangkah menyakitkan. Sebab ditengah didengungkannya pembelajaran interaktif (e-learning) yang juga harus melibatkan guru-gurunya dalam bidang studi apapun, alangkah ironis kalau gurunya sendiri tidak pernah sedikitpun menjamah teknologi informasi tersebut.

Pembelajaran interaktif adalah ketika siswa sudah tidak lagi berasumsi guru sebagai satu-satunya sumber informasi (dan memang demikian). Karena toh siswa tersebut bisa belajar dengan beberapa modul yang ditawarkan untuk belajar mandiri di internet.

Lantas apa yang harus dilakukan adalah menanamkan arti pentingnya teknologi informasi dikalangan pendidikan khususnya para guru. Mahal memang, setidaknya karena beberapa kendala baik internal (karena kesibukan jam mengajar di berbagai tempat) maupun eksternal (seperti ketersediaan akses internet dan waktu pelatihannya sendiri). Namun demikian keharusan mendorong siswa kearah kreatif harus didukung oleh guru-gurunya sendiri. Untuk itu peranan para guru sangat dibutuhkan demi keseimbangan penguasaan dan pengemasan informasi yang bakal dihadapkan pada siswanya. Karena ada kemungkinan siswa telah memahami lebih jauh satu persoalan dari pada gurunya.

Kendala internal dan eksternal tersebut sebenarnya hanyalah sebuah “pembenaran” untuk tidak melakukan hal-hal yang dibutuhkan. Artinya, berpatokan pada peribahasa “dimana ada kemauan disitu ada jalan” kita memang harus mempersiapkan diri menyongsong era baru dalam berkomunikasi dengan berbagai informasi yang ada.

Menggagas kembali kata kunci dalam uraian ini yakni kegagapan para guru dalam teknologi informasi, nampaknya harus dibentuk satu kesepakatan yang diagendakan untuk sama-sama saling mengisi antara orang yang berkecimpung dalam dunia TI (guru KKPI) dan guru mata diklat lainnya dalam mengemas media pendidikan yang telah beralih formatnya kedalam media e-learning (komputerisasi).

Berangkat dari hal tersebut nampaknya kita harus ingat sebuah pesan Nabi Muhammad SAW “ Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan jamannya dan bukan jaman mu ”.

Semoga tulisan ini menjadi awal pencerahan baru bagi guru-guru dimanapun juga untuk turut mensukseskan dan mengarahkan anak-anak kita kedalam dunia nyata yang semakin kuat pergesekannya”

Pendidikan di Singapura Ditata seperti Sebuah Orkestra



APA yang diharapkan warga dari sebuah sistem pendidikan? Bagi orang awam sekalipun pasti tahu bahwa yang dibutuhkan adalah setidaknya kurikulum
yang baik, pengajar yang enak, fasilitas memadai, dan biaya murah, jika bisa.
Lalu selebihnya mungkin adalah lingkungan yang kondusif, daya saing yang
tinggi, serta segala aspek lain yang ada di luar ruang sekolah.

TAMPAKNYA hal itu tersedia di Singapura. Perbandingan sistem pendidikan
di Singapura dengan Indonesia seperti bumi dan langit rasanya. Departemen
Pendidikan Singapura (Ministry of Education) tampaknya lebih banyak
bekerja dan memberi perhatian besar pada pengembangan pendidikan ketimbang
memanfaatkan pendidikan sebagai sumber rezeki bagi oknum atau
pegawai-pegawai departemen itu.

Dari sekolah dasar hingga universitas, misalnya, siswa sudah dipantau
dan diarahkan untuk mendapatkan pendidikan yang cocok untuknya. Jadi, tidak
semua warga layak atau bebas masuk universitas di Singapura. Bagi mereka

yang tidak layak masuk universitas di Singapura, memang bebas memilih
kuliah di luar negeri sesuai dengan kemampuan orangtua, tetapi tidak bebas
masuk universitas di Singapura jika tidak melewati tes tertentu.

Dengan pendapatan per kapita lebih dari 24.000 dollar AS per tahun,
Singapura termasuk paling kaya di dunia. Namun, Singapura tidak
menyamaratakan bahwa semua warga pasti mampu. Biaya sekolah di Singapura
relatif murah. Yang diperlukan adalah biaya di luar uang sekolah seperti
penunjang kelancaran sekolah, transportasi, buku-buku, dan lainnya.
Untuk keluarga yang tidak mampu, pemerintah menyediakan beasiswa jika
perlu. Itu disediakan untuk memastikan bahwa kemiskinan bukan hambatan untuk
mengenyam pendidikan.

Meski mobil bukan persoalan bagi kebanyakan warga di Singapura, untuk
kelancaran transportasi anak-anaknya tersedia berbagai mode
transportasi, mulai dari MRT, dipadu dengan rangkaian bus kota yang memiliki akses ke
semua sekolah. Untuk transportasi ke dan dari Nanyang Technological
University (NTU), misalnya, tersedia berbagai jalur bus yang membelah
masuk ke kompleks universitas di Jurong.

Apa lagi? Ruang kelas, perpustakaan, kantin sekolah, dan tempat
bersantai juga tersedia. Ruang kelas ditata secara bersih dan membuat murid bisa
melihat guru atau dosen dan sebaliknya dosen atau guru bisa memantau
semua anak didiknya. Kelas diperlengkapi dengan peralatan yang memudahkan guru

melakukan presentasi lewat slide yang sudah melekat di setiap ruang
sekolah sehingga tidak perlu repot setiap kali melakukan presentasi. Janganlah
segan makan di kantin-kantin sekolah, jenisnya cukup banyak, relatif sehat,
dan murah lagi.

Akses internet hingga ke ruang-ruang kelas juga tersedia dan gratis
hanya dengan mendaftar untuk mendapatkan ID dari sekolah dan universitas. Hal
itu memang sengaja dilakukan untuk membuat murid memiliki akses yang mudah
mendapatkan informasi. Terkadang bahan pelajaran juga sudah dipajang di
situs internet yang membuat mahasiswa bisa mengakses secara on-line.

Dosen-dosen dan guru di Singapura juga tidak kalah profesionalnya.
Dengan gaji yang tergolong memadai, orang- orang terangsang menjadi guru. Tidak
semua guru berasal dari Singapura sendiri.

Dengan jumlah penduduk yang sedikit, hanya 4 juta jiwa lebih, Singapura
memerlukan pasokan guru. Untuk itu terkadang guru didatangkan dari
negara lain. Untuk level universitas, misalnya, NTU dan National University of
Singapore (NUS) tak segan menawarkan gaji yang tinggi menyamai gaji di
Harvard Business School. "Kami memang harus bersaing dan menawarkan
rangsangan yang lumayan untuk bisa menarik orang-orang yang punya
talenta dunia," demikian dosen di NTU, Ang Poo Wah.

Dosen-dosen di NTU, misalnya, tidak sedikit yang menjadi orang-orang
hebat di negara asalnya dan kemudian direkrut menjadi dosen di Singapura.

Masalahnya, Singapura berniat menjadikan dirinya sebagai pusat
pendidikan berkelas internasional, setelah berhasil menjadikan dirinya sebagai
pusat pe layanan kesehatan terbagus di Asia Tenggara.

Kegiatan di universitas dan di sekolah-sekolah bukan sebatas acara
belajar-mengajar rutin di ruang-ruang kelas. Hampir setiap bulan tampil
pembicara tamu berkaliber internasional membawakan topik-topik baru yang
ditemukan di dunia.

Pemerintah Singapura tidak segan-segan mendatangkan, misalnya, Michael
Porter, Philip Kottler, ahli manajemen terkenal di dunia, serta
dosen-dosen kaliber internasional yang memang mahal tarifnya tetapi Singapura tidak
pelit soal itu.

Jadi, selain mendapatkan ilmu, mahasiswa juga diberi pencerahan dengan
menghadiri seminar-seminar gratis tetapi sangat berkualitas. Jangan
bayangkan presentasi mereka seperti guru-guru atau dosen-dosen yang
direkrut begitu saja untuk jadi pengajar P4 yang membuat ngantuk di negara kita
pada zaman Orde Baru.

Gilanya lagi, sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan di Singapura
tidak berhenti melirik perkembangan pendidikan di negara lain. Maka,
muncullah misalnya aliansi antara sekolah bisnis di NTU dan Sloan School
of Management di Massachusetts Institute of Technology.

Aliansi seperti itu dibiarkan dirangsang sendiri oleh masing-masing
fakultas. Universitas hanya memberi persetujuan. Otonomi masing-masing
fakultas dibuat sedemikian tinggi dan dibiarkan mampu memikirkan
pengembangan diri sendiri. Soal pendanaan, tampaknya tidak menjadi
masalah. NTU, misalnya, sudah memiliki endowment fund dari pemerintah sebesar 200
juta dollar Singapura.

Maka, tidak heran jika NTU, NUS, dan Singapore Management University
dengan mudah membangun aliansi dengan Harvard University, Wharton School, dan
universitas kelas satu lainnya di AS. Kerja sama internasional
pendidikan juga dilakukan dengan banyak negara. Namun, kemajuan pendidikan di AS
membuat Singapura lebih berkiblat ke AS.

Mahasiswa di Singapura sering kali mendapatkan kesempatan untuk
melakukan studi tur dengan menjelajah dunia. Bagi mahasiswa yang mampu dibiarkan
membayar sendiri, tetapi dengan subsidi universitas. Namun, bagi yang
tidak mampu tersedia beasiswa yang memungkinkan mereka tinggal di hotel,
seperti JW Marriott. Bayangkan, misalnya, selama satu setengah bulan mahasiswa
pascasarjana di Nanyang MBA Fellowship Programme tinggal di apartemen
yang dikelola JW Marriott di Boston.

Jadi, persoalan bukanlah pada fasilitas dan beasiswa. Mahasiswa tinggal
menyediakan waktu dan niat untuk belajar tekun tanpa harus diganggu oleh
ketiadaan biaya.

Bukan hanya itu, Pemerintah Singapura tidak saja bersedia mendidik
warganya, tetapi juga bersedia merekrut calon-calon siswa dan mahasiswa dari
negara tetangga dan dengan beasiswa serta tawaran kesempatan kerja di
Singapura. Karena itu, tidak heran jika ada warga melayu dari Padang hingga Klaten
belajar di Singapura dengan bantuan, termasuk ongkos pesawat pergi
pulang saat liburan.

Singapura sadar akan potensi kekurangan tenaga kerja. Niat Singapura
untuk menawarkan beasiswa bukan sekadar menjadikan mereka sebagai tenaga di
Singapura suatu saat. Bagi mahasiswa yang kembali bekerja di negara
asalnya, setidaknya diharapkan bisa menjadi orang yang kenal dan sayang dengan
Singapura dan bisa menjadi jaringan Singapura di kemudian hari.

Bukan itu saja, dengan mengundang mahasiswa dari luar, Pemerintah
Singapura otomatis membuat warganya terbiasa bergaul secara internasional ketika
masih berada di sekolah. Itu sesuai dengan posisi Singapura sebagai hub
regional sehingga warganya tidak menjadi seperti katak di bawah tempurung.

Bicara soal silabus dan kurikulum, departemen pendidikan di Singapura
setiap kali bekerja untuk melakukan evaluasi. Setiap perkembangan baru selalu
disisipkan pada silabus baru.

Jadi, itulah pendidikan di Singapura, bukan sekadar menyediakan sarana
dan prasarana yang baik, tetapi terus melakukan up-dating dari tahun ke
tahun. Itu semua dilakukan sebagai pengejawantahan visi dan misi pendidikan di
Singapura.

Bukan itu saja, iklim persaingan di antara keluarga dan komunitas di
Singapura menjadi salah satu kunci rahasia sukses pendidikan di
Singapura. Bayangkan, orangtua, rekan, pasangan, atau pacar seperti "memaksa" siswa
dan mahasiswa untuk menjadi juara satu atau tidak sama sekali. Hanya ada
satu orang juara satu. Akan tetapi, dengan prinsip itu, semua orang berlomba
mendapatkan nilai terbaik dan tidak jarang sejumlah besar mahasiswa
sama-sama memiliki nilai A semuanya.

Apa sih kurangnya pendidikan di Singapura? Tidak ada jika dibandingkan
dengan pendidikan di Indonesia, misalnya. Yang mungkin masih kurang
adalah keberanian siswa dan mahasiswa berbicara di ruang kelas dan
mempertanyakan kebenaran sistem dari negara yang tidak begitu bebas. Mahasiswa
Singapura tidak begitu cerewet di kelas seperti masyarakatnya. Inilah yang
disadari oleh PM Lee Hsien Loong (BG Lee). Kebebasan berekspresi secara nasional
ala Singapura ternyata berdampak di kelas-kelas. Maka itu, kini BG Lee
menawarkan paradigma baru, yakni kebebasan bicara.

Soalnya, aneh memang jika di kelas pun mahasiswa harus ramah dan
menurut. Bukankah pendidikan bermaksud mencari kebenaran atas yang salah,
termasuk kediktatoran ala Singapura yang dimulai oleh mantan PM Lee Kuan Yew,
yang melarang oposisi berkoak-koak?

SISWA/I BERPRESTASI SEMESTER GANJIL T.P 2011-2012

Peringatan Hari PGRI 25 Nopember 2011

Kunjungan Bupati Tapanuli Selatan

PROFIL 1