12 September 2010

Pendidikan di Singapura Ditata seperti Sebuah Orkestra



APA yang diharapkan warga dari sebuah sistem pendidikan? Bagi orang awam sekalipun pasti tahu bahwa yang dibutuhkan adalah setidaknya kurikulum
yang baik, pengajar yang enak, fasilitas memadai, dan biaya murah, jika bisa.
Lalu selebihnya mungkin adalah lingkungan yang kondusif, daya saing yang
tinggi, serta segala aspek lain yang ada di luar ruang sekolah.

TAMPAKNYA hal itu tersedia di Singapura. Perbandingan sistem pendidikan
di Singapura dengan Indonesia seperti bumi dan langit rasanya. Departemen
Pendidikan Singapura (Ministry of Education) tampaknya lebih banyak
bekerja dan memberi perhatian besar pada pengembangan pendidikan ketimbang
memanfaatkan pendidikan sebagai sumber rezeki bagi oknum atau
pegawai-pegawai departemen itu.

Dari sekolah dasar hingga universitas, misalnya, siswa sudah dipantau
dan diarahkan untuk mendapatkan pendidikan yang cocok untuknya. Jadi, tidak
semua warga layak atau bebas masuk universitas di Singapura. Bagi mereka

yang tidak layak masuk universitas di Singapura, memang bebas memilih
kuliah di luar negeri sesuai dengan kemampuan orangtua, tetapi tidak bebas
masuk universitas di Singapura jika tidak melewati tes tertentu.

Dengan pendapatan per kapita lebih dari 24.000 dollar AS per tahun,
Singapura termasuk paling kaya di dunia. Namun, Singapura tidak
menyamaratakan bahwa semua warga pasti mampu. Biaya sekolah di Singapura
relatif murah. Yang diperlukan adalah biaya di luar uang sekolah seperti
penunjang kelancaran sekolah, transportasi, buku-buku, dan lainnya.
Untuk keluarga yang tidak mampu, pemerintah menyediakan beasiswa jika
perlu. Itu disediakan untuk memastikan bahwa kemiskinan bukan hambatan untuk
mengenyam pendidikan.

Meski mobil bukan persoalan bagi kebanyakan warga di Singapura, untuk
kelancaran transportasi anak-anaknya tersedia berbagai mode
transportasi, mulai dari MRT, dipadu dengan rangkaian bus kota yang memiliki akses ke
semua sekolah. Untuk transportasi ke dan dari Nanyang Technological
University (NTU), misalnya, tersedia berbagai jalur bus yang membelah
masuk ke kompleks universitas di Jurong.

Apa lagi? Ruang kelas, perpustakaan, kantin sekolah, dan tempat
bersantai juga tersedia. Ruang kelas ditata secara bersih dan membuat murid bisa
melihat guru atau dosen dan sebaliknya dosen atau guru bisa memantau
semua anak didiknya. Kelas diperlengkapi dengan peralatan yang memudahkan guru

melakukan presentasi lewat slide yang sudah melekat di setiap ruang
sekolah sehingga tidak perlu repot setiap kali melakukan presentasi. Janganlah
segan makan di kantin-kantin sekolah, jenisnya cukup banyak, relatif sehat,
dan murah lagi.

Akses internet hingga ke ruang-ruang kelas juga tersedia dan gratis
hanya dengan mendaftar untuk mendapatkan ID dari sekolah dan universitas. Hal
itu memang sengaja dilakukan untuk membuat murid memiliki akses yang mudah
mendapatkan informasi. Terkadang bahan pelajaran juga sudah dipajang di
situs internet yang membuat mahasiswa bisa mengakses secara on-line.

Dosen-dosen dan guru di Singapura juga tidak kalah profesionalnya.
Dengan gaji yang tergolong memadai, orang- orang terangsang menjadi guru. Tidak
semua guru berasal dari Singapura sendiri.

Dengan jumlah penduduk yang sedikit, hanya 4 juta jiwa lebih, Singapura
memerlukan pasokan guru. Untuk itu terkadang guru didatangkan dari
negara lain. Untuk level universitas, misalnya, NTU dan National University of
Singapore (NUS) tak segan menawarkan gaji yang tinggi menyamai gaji di
Harvard Business School. "Kami memang harus bersaing dan menawarkan
rangsangan yang lumayan untuk bisa menarik orang-orang yang punya
talenta dunia," demikian dosen di NTU, Ang Poo Wah.

Dosen-dosen di NTU, misalnya, tidak sedikit yang menjadi orang-orang
hebat di negara asalnya dan kemudian direkrut menjadi dosen di Singapura.

Masalahnya, Singapura berniat menjadikan dirinya sebagai pusat
pendidikan berkelas internasional, setelah berhasil menjadikan dirinya sebagai
pusat pe layanan kesehatan terbagus di Asia Tenggara.

Kegiatan di universitas dan di sekolah-sekolah bukan sebatas acara
belajar-mengajar rutin di ruang-ruang kelas. Hampir setiap bulan tampil
pembicara tamu berkaliber internasional membawakan topik-topik baru yang
ditemukan di dunia.

Pemerintah Singapura tidak segan-segan mendatangkan, misalnya, Michael
Porter, Philip Kottler, ahli manajemen terkenal di dunia, serta
dosen-dosen kaliber internasional yang memang mahal tarifnya tetapi Singapura tidak
pelit soal itu.

Jadi, selain mendapatkan ilmu, mahasiswa juga diberi pencerahan dengan
menghadiri seminar-seminar gratis tetapi sangat berkualitas. Jangan
bayangkan presentasi mereka seperti guru-guru atau dosen-dosen yang
direkrut begitu saja untuk jadi pengajar P4 yang membuat ngantuk di negara kita
pada zaman Orde Baru.

Gilanya lagi, sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan di Singapura
tidak berhenti melirik perkembangan pendidikan di negara lain. Maka,
muncullah misalnya aliansi antara sekolah bisnis di NTU dan Sloan School
of Management di Massachusetts Institute of Technology.

Aliansi seperti itu dibiarkan dirangsang sendiri oleh masing-masing
fakultas. Universitas hanya memberi persetujuan. Otonomi masing-masing
fakultas dibuat sedemikian tinggi dan dibiarkan mampu memikirkan
pengembangan diri sendiri. Soal pendanaan, tampaknya tidak menjadi
masalah. NTU, misalnya, sudah memiliki endowment fund dari pemerintah sebesar 200
juta dollar Singapura.

Maka, tidak heran jika NTU, NUS, dan Singapore Management University
dengan mudah membangun aliansi dengan Harvard University, Wharton School, dan
universitas kelas satu lainnya di AS. Kerja sama internasional
pendidikan juga dilakukan dengan banyak negara. Namun, kemajuan pendidikan di AS
membuat Singapura lebih berkiblat ke AS.

Mahasiswa di Singapura sering kali mendapatkan kesempatan untuk
melakukan studi tur dengan menjelajah dunia. Bagi mahasiswa yang mampu dibiarkan
membayar sendiri, tetapi dengan subsidi universitas. Namun, bagi yang
tidak mampu tersedia beasiswa yang memungkinkan mereka tinggal di hotel,
seperti JW Marriott. Bayangkan, misalnya, selama satu setengah bulan mahasiswa
pascasarjana di Nanyang MBA Fellowship Programme tinggal di apartemen
yang dikelola JW Marriott di Boston.

Jadi, persoalan bukanlah pada fasilitas dan beasiswa. Mahasiswa tinggal
menyediakan waktu dan niat untuk belajar tekun tanpa harus diganggu oleh
ketiadaan biaya.

Bukan hanya itu, Pemerintah Singapura tidak saja bersedia mendidik
warganya, tetapi juga bersedia merekrut calon-calon siswa dan mahasiswa dari
negara tetangga dan dengan beasiswa serta tawaran kesempatan kerja di
Singapura. Karena itu, tidak heran jika ada warga melayu dari Padang hingga Klaten
belajar di Singapura dengan bantuan, termasuk ongkos pesawat pergi
pulang saat liburan.

Singapura sadar akan potensi kekurangan tenaga kerja. Niat Singapura
untuk menawarkan beasiswa bukan sekadar menjadikan mereka sebagai tenaga di
Singapura suatu saat. Bagi mahasiswa yang kembali bekerja di negara
asalnya, setidaknya diharapkan bisa menjadi orang yang kenal dan sayang dengan
Singapura dan bisa menjadi jaringan Singapura di kemudian hari.

Bukan itu saja, dengan mengundang mahasiswa dari luar, Pemerintah
Singapura otomatis membuat warganya terbiasa bergaul secara internasional ketika
masih berada di sekolah. Itu sesuai dengan posisi Singapura sebagai hub
regional sehingga warganya tidak menjadi seperti katak di bawah tempurung.

Bicara soal silabus dan kurikulum, departemen pendidikan di Singapura
setiap kali bekerja untuk melakukan evaluasi. Setiap perkembangan baru selalu
disisipkan pada silabus baru.

Jadi, itulah pendidikan di Singapura, bukan sekadar menyediakan sarana
dan prasarana yang baik, tetapi terus melakukan up-dating dari tahun ke
tahun. Itu semua dilakukan sebagai pengejawantahan visi dan misi pendidikan di
Singapura.

Bukan itu saja, iklim persaingan di antara keluarga dan komunitas di
Singapura menjadi salah satu kunci rahasia sukses pendidikan di
Singapura. Bayangkan, orangtua, rekan, pasangan, atau pacar seperti "memaksa" siswa
dan mahasiswa untuk menjadi juara satu atau tidak sama sekali. Hanya ada
satu orang juara satu. Akan tetapi, dengan prinsip itu, semua orang berlomba
mendapatkan nilai terbaik dan tidak jarang sejumlah besar mahasiswa
sama-sama memiliki nilai A semuanya.

Apa sih kurangnya pendidikan di Singapura? Tidak ada jika dibandingkan
dengan pendidikan di Indonesia, misalnya. Yang mungkin masih kurang
adalah keberanian siswa dan mahasiswa berbicara di ruang kelas dan
mempertanyakan kebenaran sistem dari negara yang tidak begitu bebas. Mahasiswa
Singapura tidak begitu cerewet di kelas seperti masyarakatnya. Inilah yang
disadari oleh PM Lee Hsien Loong (BG Lee). Kebebasan berekspresi secara nasional
ala Singapura ternyata berdampak di kelas-kelas. Maka itu, kini BG Lee
menawarkan paradigma baru, yakni kebebasan bicara.

Soalnya, aneh memang jika di kelas pun mahasiswa harus ramah dan
menurut. Bukankah pendidikan bermaksud mencari kebenaran atas yang salah,
termasuk kediktatoran ala Singapura yang dimulai oleh mantan PM Lee Kuan Yew,
yang melarang oposisi berkoak-koak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih komentarnya

SISWA/I BERPRESTASI SEMESTER GANJIL T.P 2011-2012

Peringatan Hari PGRI 25 Nopember 2011

Kunjungan Bupati Tapanuli Selatan

PROFIL 1