15 September 2010

Sarjana Rendah Hati Lebih Laris


Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Dunia usaha selalu membutuhkan orang-orang yang cerdas. Orang-orang cerdas bisa jadi berasal dari keluarga cerdas dan sekolah yang hebat. Seseorang mungkin berfikir bahwa sekolah yang hebat mampu menghasilkan siswa yang hebat atau cerdas karena sekolah tersebut memiliki standard disiplin yang tinggi, guru yang tegas, berwibawa dan mahal senyum, sementara fokus aktivitas siswanya adalah selalu belajar dan berlatih. Namun dalam kenyataan bahwa kondisi pembelajaran di sekolah yang hebat, bukanlah demikian (?).

Pengalaman saat mengunjungi sekolah- sekolah berkualitas- sekolah unggulan, dengan uang sekolahnya sangat mahal- dijumpai kondisi sekolahnya yang begitu harmonis dan damai, hubungan antara guru-siswa yang rileks, berinteraksi melalui bahasa yang lembut dan santun. Sementara staff dan kepala sekolah tidak pernah memperlihatkan karakter yang berlebihan- dingin dan arrogant. Sebaliknya ada sekolah yang dipromosikan sebagai sekolah- lembaga pendidikan yang berkualitas- menerapkan disiplin yang hebat- ketat dan kaku- dalam kenyataan populasi siswanya merosot terus.

Pemilihan ketua osis (organisasi intra sekolah) yang dicampuri oleh kekuasaan sekolah biasanya akan memilih ketua osis yang yang cerdas namun dipandang berkarakter arrogant dan suka mengatur oleh sebahagian anggotanya. Demilkian pula dalam pemilihan Kepala Desa, Wali Nagari, Bupati/ Wali Kota dan pemilihan Gubernur yang dipengaruhi oleh kekuatan dari atas biasanya juga akan memilih tokoh yang hebat dalam berpidato, namun berkarakter otoriter, arrogant dan suka mengatur. Sebaliknya pemilihan tokoh (ketua osis, Kepala Desa, Wali Nagari, Bupati/ Wali Kota dan Gubernur) yang dipilih oleh anggota/ rakyat, mereka akan memilih tokoh/ figure yang cerdas atau hebat namun rendah hati.

“Pilihlah orang yang cerdas dan rendah hati..!” Fenomena ini juga terjadi dalam dunia usaha/ dunia kerja: perusahaan swasta, dan BUMN. Ada salah seorang sarjana lulusan Universitas di daerah bisa memperoleh posisi pekerjaan di perusahaan yang bergengsi di ibu kota (Jakarta). “Mengapa anda bisa memperoleh pekerjaan dengan posisi yang bagus di metro politan dan mampu bersaing dengan lulusan dari perguruan hebat seperti UI, ITB, IPB, UNPAD, Gajah Mada, dan lain-lain ?” Dia menjawabnya bahwa keunggulannya yang dinyatakan selama wawancara- ia dinyatakan sebagai sarjana berkualitas yang rendah hati. Kalau ini menjadi fenomena maka sarjana cerdas namun berkarakter angkuh, arrogant, otoriter dan egoist akan tidak laku dalam dunia kerja. Namun apakah banyak mahasiswa dan para sarjana yang tahu dengan fenomena ini ? Bisa jadi “ya” dan bisa jadi “tidak”.

Sampai detik ini, cukup banyak orang tua yang memasung anak di rumah atas nama pendidikan atau kasih sayang. Mereka hanya memaksa dan memotivasi anak sekedar belajar dan mengikuti berbagai macam kursus mata pelajaran. Namun mereka tidak diberi pengalaman tentang kecakapan hidup- mengikuti kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan di luar rumah lainnya, karena dianggap sebagai buang-buang waktu dan mengganggu pelajaran. Pada akhirnya anak memang tumbuh jadi cerdas secara akademik namun mereka kurang memilki kepekaan sosial- cuek, acuh dan masa bodoh terhadap sesama.

Begitu pula dengan kodisi pembelajaran di banyak sekolah. Para guru mungkin sekedar mengejar pencapaian kurikulum. Menghardik, membentak dan mengancam agar siswa bisa tertib dan mengikuti disiplin. Ini merupakan suasana belajar dengan guru-guru yang bergaya otoriter. Dalam kenyataan bahwa gaya belajar yang memaksa, menggertak, mendikte, mengejek bisa berpotensi dalam mematikan motivasi dan semangat belajar anak didik.

Namun, saat sarjana cerdas yang rendah hati, menjadi fenomena di dunia. Orang cerdas yang rendah hati lebih disukai dari pada mereka yang cerdas namun sombong, arrogant, dan tinggi hati. Maka kini masyarakat- guru dan orang tua perlu untuk meresponnya dalam praktek edukasi di rumah dan di sekolah.

Program belajar yang diyakini bisa membuat anak bisa jadi cerdas namun rendah hati selalu diminati. Learning center yang bisa membantu anak jadi cerdas dan rendah hati juga menjadi ngetrend, walau biaya belajarnya mahal- selalu diserbu.

Ada learning center sebagai tempat belajar dan bermain, yang merancang program belajar dan bermain agar anak tumbuh cerdas dan peka terhadap sosial (www.playhousedisney-asia.com) menawarkan aktivitas seperti :let your preschooler get a headstart through fun learning in the world filled with discovery and imagination on play house, designed for kids- fun learning in a world. Tentu saja aktivitas ini berada di tempat belajar yang menyenangkan- membuat anak cerdas namun rendah hati- adalah dengan menyediakan sarana belajar dan bermain dalam kelompok teman sebaya. Di sana mereka ditemani oleh guru yang berkarakter penyayang- menyayangi dan membimbing anak-anak untuk melakukan discovery (penemuan).

Sarana belajar yang berorientasi discovery tidak perlu serba mahal. Sarana belajarnya bisa jadi berupa tanah, pasir, kerikil, rumput, serangga, hewan kecil, balok-balok, cangkul kecil, bangku kecil, pisau tumpul, dan lain-lain yang bisa digenggam oleh tangan kecil dan mengoperasikannya. Yang penting di sana tidak ada suasana menakutkan- gertakan, kemarahan guru/ orang tua, penekanan dan permusuhan. Namun yang ada musti suasana pencarian, kebersamaan, semangat eksplorasi yang diperkaya dengan pujian dan pompa semangat.

Mushola dan surau juga bisa menjadi learning center di daerah perumahaan- untuk menciptakan anak-anak yang cerdas dan rendah hati. Kegiatan didikan subuh, dimana ada anak yang bertanggung jawab sebagai protokol, pembaca do’a, pembaca ayat/ bacaan sholat, juz amma, zikir dan kultum (kuliah tujuh menit) yang mengkondisikan mereka tampil di depan sesamanya. Ini cukup ampuh untuk membuat mereka tumbuh dengan rasa percaya diri yang tinggi. Selanjutnya bahwa musholla dan surau juga bisa efektif sebagai learning centre untuk daerah perumahan apabila di sana juga ada kegiatan reading society, kesenian dan olah raga.

Kini apalagi ? Ya, orang tua yang berkarakter cerewet, pemarah, dan suka menekan dalam mendidik sudah tidak zamannya lagi. Juga sudah tidak zamannya lagi bagi guru yang cuma mendidik sekedar membayar tugas. Lebih peduli terhadap kerapian dan kelengkapan administrasi/ RPP namun tidak berkarakter kreatif dan inovatif sebagai seorang guru. Apalagi bila mereka miskin dengan pengalaman paedagogi, wawasan dan informasi, serta lfe skill.

How to do and what to do ? Sri wahyudi, salah seorang murid penulis ketika belajar di SMA, adalah cuma seorang anak pedagang es keliling yang selalu meningkatkan kualitas percaya diri. Ia ikut tampil dan ikut berbicara di depan teman-teman. Kesempatan seperti itu bisa meningkatkan rasa percaya diri. Di rumah ia juga ikut meringankan kerja orang tua. Ia juga ikut bergaul dan berinteraksi dengan anak-anak tetangga- berendam air, main lumpur, mencari serangga, mengembara di sawah, namun juga serius dalam belajar dan membaca. Ia mencoba untuk berdialog dengan banyak orang dan mengunjungi banyak tempat. Setelah tamat kuliah, maka ia menjadi sarjana yang rendah, mengikuti kompetisi bursa kerja dan segera mrmperoleh posisi kerja yang cukup punya gengsi.

Dari pengalaman hidup kita ketahui bahwa orang-orang cerdas yang rendah hati bukanlah orang yang memperoleh pendidikan secara karbitan. Namun mereka adalah orang yang tumbuh dari tempaan pengalaman hidup yang kaya variasinya. Mereka ikut bersosial, beribadah, meringankan beban hidup orang tua, peduli dengan aktivitas tetangga dan tidak gengsi gengsian dalam bekerja. Sarjana- orang cerdas- yang rendah hati adalah orang yang pas dengan karakter bangsa ini.

Ditulis dalam Artikel Pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih komentarnya

SISWA/I BERPRESTASI SEMESTER GANJIL T.P 2011-2012

Peringatan Hari PGRI 25 Nopember 2011

Kunjungan Bupati Tapanuli Selatan

PROFIL 1